Soe Hok Gie, Mantra Sakti Sang Penyihir Kata-Kata
![]() |
resensi buku gie dan surat-surat tersembunyi |
GIE dan Surat-Surat Yang Tersembunyi
seri buku tempo : pemuda dan gerakan sosial
Tim Penyunting : Amarzan Lubis : Anton aprianto :
Bagja hidayat : Redaksi KPG
Tim Produksi : Djunaedi : Eko punto pambudi : Fitra moerat sitompul : Rudy asrory : Tri watno widodo
Perancang Sampul dan Penata Letak
Landi a handwiko
Cetakan Pertama, Desember 2016
ISBN : 978-602-424-232-9
Kening saya berkerut saat membuka lembar demi lembar halaman buku ini. Halaman-halaman yang dengan susah payah menyajikan wajah yang tak tampak dari sosok Gie, lewat surat-surat tersembunyi yang ditemukan dalam pencarian yang penuh perjuangan.
Dengan cara yang mengagumkan, buku ini menampilkan sisi khas dari pikiran dan perasaan seorang Cina kere yang gemar mendaki gunung, begitulah cara Gie menggambarkan dirinya, dan saya yakin banyak yang akan sepakat.
Sebagai tokoh pergerakan 1966 yang namanya paling bersinar, Gie begitu berbeda terlampau unik. Ia bukanlah pemimpin organisasi mahasiswa atau ketua partai politik seperti yang biasanya memimpin gerakan semacam itu.
Gie, dengan caranya sendiri, mampu menjadi motor penggerak tanpa harus memegang kekuasaan formal. Ia adalah pemimpin ide, bukan jabatan, yang memanfaatkan pikirannya yang tajam dan keberanian luar biasa untuk menggugah kesadaran dan mendorong perubahan.
Untuk menjadi tokoh berpengaruh dalam sebuah periode pergerakan, biasanya seseorang harus menjadi pemimpin organisasi mahasiswa atau partai politik sebuah syarat yang hampir mutlak.
Namun Gie, ia berbeda. Ia tak mengikuti aturan itu. Seperti air yang mengalir, Gie mengalir ke mana pun ia ingin pergi, mengikuti alur pikirannya tanpa harus terikat pada apapun. Bagi Gie, perjuangan bukan soal jabatan atau kekuasaan, melainkan soal ide dan tindakan nyata yang mampu menggerakkan perubahan.
Gie Kecil, Memberontak semenjak Dalam Pikiran
Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942. Sejak kecil, ia telah dibesarkan dalam atmosfer yang sarat dengan bacaan. Kemampuan menulisnya terasah dari kebiasaannya yang gemar membaca, sebuah kebiasaan yang ditanamkan oleh ayahnya, seorang pensiunan wartawan. Ayahnya, yang akrab disapa Babah, tak hanya mengajak Gie untuk membaca koran, tetapi juga untuk mencerna berbagai isu nasional yang hangat pada masanya.
Saat itu, Babah hanya bergumam pelan, "Hmm." Tak lebih dari itu. Namun, di balik gumaman itu, ia serius dalam mencerna informasi dan mengundang diskusi yang mendalam dengan anak-anaknya.
Tak jarang, percakapan-percakapan itu menuntut pemikiran yang lebih tajam. Hasilnya, Gie tumbuh dengan tingkat literasi yang jauh di atas rata-rata, sebuah fondasi yang akan membawanya menuju pemikiran yang jauh melampaui zamannya.
Buktinya, ketika Gie masih duduk di bangku SMP, sebuah peristiwa menarik terjadi. Dalam catatan Seorang Demonstran, Gie pernah dengan berani mendebat guru Bahasa Indonesia mereka, yang menyebut Chairil Anwar sebagai pengarang dari prosa "Pulanglah Dia, Si Anak Hilang".
Dengan tegas, Gie mengatakan bahwa karya tersebut adalah hasil terjemahan dari pengarang Prancis, André Gide, yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar ke dalam bahasa Indonesia.
Guru itu terkejut dan meradang, sementara murid-murid lainnya terdiam, tercengang dengan kebiasaan Gie yang pada saat itu begitu tak lazim. Sikap kritis dan ketajaman berpikir yang dimiliki Gie sudah tampak jelas, bahkan sejak usia muda. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga ia lulus dari SMP.
Hok Gie Remaja, Sang Penebar Racun Intelektualisme
![]() |
resensi buku gie dan surat-surat tersembunyi |
Di sana, perjalanan intelektualnya semakin berkembang, mempertemukannya dengan banyak pemikiran besar dan membentuk karakternya yang semakin teguh.
Gie diterima sebagai siswa di jurusan Sastra, sebuah langkah yang semakin mengukuhkan kecintaannya pada dunia kata. Menurut Frans, pengurus majalah Pementjar, Gie bukanlah sosok murid yang populer di kalangan teman-temannya.
Namun, ia dikenal karena tulisannya yang bagi sebagian orang—terlalu tinggi untuk ukuran siswa di tingkat menengah atas. Karya-karya Gie seringkali mengundang decak kagum, tetapi juga ketidakpahaman dari mereka yang belum siap dengan kedalaman pikirannya.
Tak hanya lewat tulisan, Gie juga terkenal karena keberaniannya dalam berdebat. Salah satu contohnya adalah perdebatan sengit yang ia lakukan dengan guru Sejarah Kebudayaannya. Selama hampir tiga puluh menit, keduanya saling beradu argumen, mengungkapkan pandangan yang berbeda mengenai referensi sejarah.
Sang guru, yang mengutip Nagarakretagama, menyatakan bahwa masa pemerintahan Ken Arok berlangsung antara tahun 1222 hingga 1227. Namun, Gie, dengan ketajaman berpikirnya, tidak begitu saja menerima pendapat itu. Di situlah dimulai pertarungan intelektual yang penuh gairah.
Hok Gie, yang tak pernah puas dengan apa yang ada, kemudian membaca Pararaton. Dari situlah ia menemukan sesuatu yang menurutnya lebih logis. Ia meyakini bahwa Ken Arok memerintah lebih lama, antara 1222 hingga 1227, berbeda dengan apa yang diajarkan oleh gurunya.
Dalam pandangannya, Pararaton menawarkan perspektif yang lebih akurat, dan keyakinannya itu ia suarakan dengan tegas, berani menantang pandangan yang diterima umum.
Namun, sang guru tetap bertahan dengan referensinya, seolah menganggap kebenaran hanya miliknya. Tanpa gentar, Gie menyatakan bahwa pemikiran sang guru itu sudah mati—sebuah kalimat yang tajam dan berani, yang tak hanya menentang teori, tetapi juga melanggar tabu besar dalam dunia pendidikan saat itu mendebat guru!.
Di zaman yang penuh dengan aturan disiplin yang ketat, Gie seperti lahir untuk mengaburkan batas-batas yang dianggap tak boleh dilampaui. Seperti petir yang membelah langit, ia tak mengenal takut dalam memperjuangkan kebenaran menurut versinya, meskipun itu berarti berhadapan dengan otoritas yang lebih besar.
Gie adalah contoh nyata dari keberanian intelektual yang tak terbelenggu oleh aturan.
Di masa SMA, perlawanan Gie semakin meluas. Selain mengkritik guru, ia mulai mengkritik lingkungan sekitarnya teman-teman sekolahnya, bahkan pastor-pastor yang seharusnya menjadi teladan. Tak hanya itu, ia juga mulai mengecam Presiden Sukarno dan tokoh politik lainnya.
Gie, dikenal sebagai murid yang serius, dengan kecerdasan yang mengalir begitu alami. Di Kanisius, sebuah sekolah yang penuh dengan darah-darah elit dan darah-darah pinggiran, Gie semakin tajam dalam menilai dunia.
Ia memandang kesenjangan ekonomi sebagai luka besar yang terus menganga, sebuah penyakit sosial yang tak bisa disembuhkan hanya dengan kata-kata manis dan tatapan kosong.
Gie bukanlah seorang siswa biasa ia adalah seorang pemikir kritis yang menuntut perubahan, bahkan di usia muda.
Teman-temannya, yang sebagian besar berasal dari keluarga kaya raya, memiliki hak istimewa yang begitu terlihat jelas di depan mata. Dengan penuh sindiran, Gie tak ragu mengejek mereka, menorehkan kenyataan pahit bahwa hidup mereka begitu jauh dari realitas yang ia hadapi.
Bagi Gie, segala bentuk kesenangan yang lahir dari keistimewaan itu adalah semu, layaknya bayangan yang hilang saat matahari terbenam. Ia tidak malu untuk berbicara keras, menanggalkan kemewahan dan kenyamanan yang terkadang menutup mata dari ketimpangan yang nyata.
Gie tak hanya mengkritik golongan yang tampak jelas, ia juga menyoroti kalangan yang seharusnya menjadi pelita, namun malah meredupkan cahaya. Ia melihat para pastor sebagai kelas berkuasa dalam agama, seolah-olah mereka yang memonopoli kebenaran mutlak.
"Lihat saja cara hidup mereka," tulisnya dengan pedas, "mewah dan penuh kepalsuan, menjilat-jilat kepada golongan yang berkuasa, sementara ajaran yang mereka bawa justru digadaikan."
Bukan hanya kaum rohaniwan yang menjadi sasaran kecamannya, tokoh politik pun tak luput dari sorotan tajamnya. Dalam catatan hariannya tertanggal 10 Desember 1959, Gie menulis dengan penuh rasa kecewa terhadap ketimpangan yang ada, antara rakyat yang bergelimang penderitaan dan para penguasa yang hidup dalam kemewahan yang tak terjangkau.
Ia mencatat dengan tajam, sebuah ketidakadilan yang terus membelenggu tanah air, menggugah setiap jiwa yang masih ingin melihat perubahan.
Di sekitar rumahnya, di jalan Kebon Jeruk, Hayam Wuruk, Gie menyaksikan pemandangan yang begitu memilukan orang-orang yang tak mampu membeli makanan selain kulit mangga, sebab perut mereka sudah begitu kosong.
Melihat pemandangan itu, dalam batinnya ia merasakan kegelisahan yang dalam. Di istana negara, sekitar dua kilometer dari sana, Sukarno sedang tertawa-tawa bersama para istri dan sahabatnya, melahap makanan enak yang tak terjangkau oleh orang-orang yang kelaparan di jalanan.
Gie, dengan mata tajamnya, menyaksikan kontras yang begitu mencolok, dan hatinya dipenuhi oleh ketidakadilan yang begitu nyata. Sebuah ironi yang memeluk realita politik tanah air, yang oleh Maxwell disebutkan, sangat dipengaruhi oleh keluarga Gie.
Nio Hoei-an, sang ayah, dengan cerdas sering berbincang dengan Gie mengenai isu-isu politik. Ia membekali anaknya dengan pengetahuan dan sudut pandang yang luas tentang dunia ini.
Namun, semakin Gie tumbuh, semakin ia mengasah pemikirannya dengan membaca koran-koran yang beragam sejak ia masih SMP.
Semua itu membentuk pandangan politiknya yang semakin liar, semakin bebas dari batasan yang ada, dan ia semakin yakin bahwa ketidakadilan yang ia saksikan di jalanan harus diubah. Tak hanya itu, sikapnya yang revolusioner semakin menguat saat ia melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia.
Di sana, pikiran dan jiwa mudanya semakin berontak, seperti api yang semakin membakar, siap untuk membakar habis ketidakadilan yang telah lama bertahan.
Soe Hok Gie Mulai Menyihir Kaum intelektual.
Di kampusnya, Gie dikenal sebagai sosok di balik layar pemikir yang tajam, penggerak tanpa pamrih. Ia mendorong mahasiswa untuk bersikap di tengah krisis politik, menyuarakan kegelisahannya lewat tulisan di media massa dan pidato di Radio UI, radio kampus tempat ia menimba ilmu.
Goresan tintanya begitu memesona sekaligus kritis. Ia menguliti para politikus busuk, koruptor, dan tokoh mahasiswa yang memilih merapat ke istana. Tulisan-tulisannya bagaikan nyamuk yang berdenging di telinga penguasa! mengganggu, menyadarkan!
Soe Hok Gie adalah salah satu pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), bagian dari gelombang utama Angkatan 1966. Ia lebih banyak menggerakkan mahasiswa di kampusnya, Universitas Indonesia, mengajak mereka turun ke jalan dalam unjuk rasa besar sejak awal Januari hingga Maret 1966.
Gagasan Gie tentang aksi nasional 1966 tak hanya mengendap dalam pikirannya sendiri. Ia menyalurkannya melalui sahabat-sahabatnya di pucuk pimpinan KAMI, di antaranya Marsilam Simanjuntak dan Ismid Hadad.
“gie enggak dimana-mana dalam arti resmi berorganisasi.
Karena dia enggak punya saluran resmi, maka dia mencari salurannya. Siapa salurannya? Saya. Dia hubungi saya supaya ide-idenya bisa disalurkan di kami.”
Marsilam Simanjuntak
kami menyebut dia a free willing person, enggak mau terikat dimana-mana. Dia bergerak dimana-mana. Tipe orang yang berpikir bebas.
Dia seringkali menggunakan saya untuk mempengaruhi kami dan kelompok lain.
Ismid Hadad.
gie unik, tak dimana-mana namun dapat bergerak kemana-mana. perannya pun tak main-main dalam pergerakan angkatan 1966, seperti, saat unjuk rasa mahasiswa sastra dan psikologi, universitas indonesia, pada pertengahan januari, 1966.
Malam itu, puluhan mahasiswa yang berkumpul di Laskar Arief Rahman Hakim tiba-tiba bergerak menuju Stasiun Gambir. Ada yang mengayuh sepeda dengan tergesa, sebagian lagi menggeber skuter mereka, sementara yang lain berlompatan ke bak mobil pickup milik seorang kawan.
Di sudut bak, setumpuk pamflet perjuangan teronggok, siap menyebarkan suara perlawanan.
Begitu tiba di Stasiun Gambir, mereka berhamburan, memburu kereta-kereta yang hendak berangkat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Poster dan pamflet bertuliskan Tiga Tuntutan Rakyat yang kemudian dikenal sebagai Tritura bertebaran, menjadi saksi bisu dari semangat perubahan yang mereka kobarkan.
Tuntutan agar harga kebutuhan pokok diturunkan, Partai Komunis Indonesia beserta organisasi kemasyarakatannya dibubarkan, dan kabinet segera dirombak ditempelkan di gerbong-gerbong kereta.
Tujuannya jelas! memastikan pesan ini sampai ke Jawa, menyebar luas melampaui batas kampus.
Ide brilian ini lahir dari Gie. Memviralkan tuntutan di era tanpa internet, ketika dunia masih serupa “zaman batu,” tentu bukan perkara mudah. Namun, bagi Gie, selalu ada strategi liar yang siap dieksekusi kapan pun ia mau.
Unjuk rasa mahasiswa Fakultas Sastra dan Psikologi Universitas Indonesia itu menjadi bagian dari gelombang besar demonstrasi Angkatan 1966 sebuah gerakan yang dengan tegas menolak PKI dan mempertanyakan kepemimpinan Sukarno.
Biasanya, mahasiswa Fakultas Sastra, yang berkuliah di Kampus UI Rawamangun, melakukan long march menuju Fakultas Psikologi di Salemba. Derap langkah mereka bukan sekadar olahraga, tetapi simbol perlawanan dan solidaritas.
Aksi ini dipimpin oleh Ketua Senat Fakultas Sastra, Herman Onsesinus Lantang. Sementara di balik layar, para perancang strategi pergerakan adalah Soe Hok Gie, Boeli Londa, dan Jopie Lasut pemikir sekaligus penggerak yang menjadikan aksi ini lebih dari sekadar unjuk rasa, melainkan sejarah yang terus dikenang.
Sepanjang Januari hingga Maret 1966, banyak ide brilian lahir dari kepala Gie dan Herman saat mereka merancang unjuk rasa mahasiswa Sastra dan Psikologi.
Salah satu yang paling berkesan adalah aksi para mahasiswi yang dengan berani menyelipkan bunga di pucuk senapan tentara, lalu dengan suara lembut berkata, “Bapak-bapak juga punya anak dan istri, bukan?”
Momen itu begitu menggetarkan. Para anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang semula tegap dan bersiaga, seketika terdiam. Tak ada teriakan, tak ada bentakan. Hanya keheningan yang berbicara.
Kala berhadapan dengan perempuan, hati tentara langsung lumer, ujar Gie, sembari tersenyum penuh arti.
Herman bertugas mengerahkan massa, sementara Gie membakar semangat mereka dengan orasi. Kata-kata Hok Gie selalu punya daya magis, seolah menyihir para pengunjuk rasa.
Saat dia berorasi, semua terdiam. Tak ada suara lain selain gaung kalimat-kalimatnya yang tajam, membakar, dan penuh keberanian.
Berkat Gie, para aktivis tak pernah kehabisan ide untuk turun ke jalan. Ia bukan sekadar orator, melainkan pemantik api perjuangan membuat gelombang perlawanan terus bergulung, tak kenal surut.
ide-ide kreatif untuk berunjuk rasa dari gie ini dibenarkan ketua KAMI jaya pada masa itu,
Pada 22 Februari 1966, Gie dan Marsilam Simanjuntak merancang strategi cerdik: menyusup ke dalam apel kesetiaan kepada Bung Karno di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Ini bukan sekadar aksi spontan, melainkan langkah terencana dengan presisi.
Gie mengusulkan agar mahasiswa UI memiliki tanda pengenal untuk mengantisipasi kemungkinan kekacauan. “Dia meminta satu celana dilipat sebagai kode bahwa itu aksi mahasiswa UI, selain jaket almamater kuning,” kenang Marsilam pada awal September 2016. Sebuah taktik sederhana, tapi efektif.
Tak hanya itu, ketika aksi Tritura berlangsung pada 10 Januari 1966, Gie bahkan mengusulkan langkah lebih ekstrem, mengempiskan ban mobil anggota Kabinet Dwikora. “Agar mereka tak bisa bergerak,” ujarnya tegas.
Juru bicara KAMI, Ismid Hadad, pun mengakui betapa briliannya Gie dalam menarik perhatian. Ia bukan sekadar aktivis biasa ia adalah otak dari banyak gerakan yang mengguncang zaman.
Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, yang dipimpin bersama oleh Gie, pernah menggelar pawai alegoris dengan cara unik dan penuh simbolisme. “Kami berbaris dalam kelompok besar, mengenakan busana daerah sambil membawa poster yang membangkitkan kesadaran massa,” kenang seorang aktivis.
Ismid Hadad pun mengakui keuletan Gie dan Jopie Lasut dalam memimpin aksi mahasiswa Sastra dan Psikologi. Salah satu momen penting terjadi saat mereka menggelar demonstrasi di depan kantor Wakil Perdana Menteri III, Chaerul Saleh, di Sekretariat Negara.
Ismid awalnya gagal membujuk sang menteri yang bertanggung jawab atas kenaikan harga kebutuhan pokok untuk keluar menemui massa. Namun, Gie dan beberapa rekannya tak kehabisan akal.
Dengan taktik khasnya, mereka berhasil menyusup ke dalam gedung dan memaksa Chaerul Saleh keluar. "Dia akhirnya menemui kami," ujar Ismid, mengingat kembali kejadian bersejarah itu.
"Soe Hok-Gie adalah paket komplet seorang demonstran," ujar Josi Katoppo, sahabat dekat Gie. Ia menggambarkan Gie sebagai sosok yang pandai, cerdas, matang, dan—tentu saja—nekat.
Josi sendiri menyaksikan dengan mata kepala bagaimana nekatnya Gie saat memimpin demonstrasi di depan kantor Komite Central PKI di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. “Saat kami lari karena dihadang panser, dia justru melompat ke depan dan menghadangnya.”
Bagi Josi, Gie adalah orang paling berani yang pernah ia temui. Bukan hanya pemikir, Gie juga seorang penggerak yang tak segan mengambil risiko besar demi perubahan.
Soe Hok-Gie memang bukan hanya penyumbang ide brilian, tapi juga tokoh lapangan yang penuh semangat. Ia disebut man of action karena kemampuannya mempersatukan berbagai kelompok mahasiswa, membawa mereka bersatu dalam satu tujuan besar.
Seperti halnya dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang melahirkan demonstrasi-demonstrasi panjang dari mahasiswa yang tidak puas terhadap keadaan, yang akhirnya berujung pada kejatuhan Soekarno, Gie menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang mampu menggerakkan massa dengan strategi cerdas.
Sekitar 50 mahasiswa melakukan long march dari Universitas Indonesia di Salemba menuju Rawamangun, dan salah satu yang ikut serta adalah DR Sutjipto.
“Akulah arsitek dari long march ini,” kata Soe Hok Gie dengan penuh keyakinan. Gie merasa bahwa gerakan yang ia desain berhasil mencapai tujuannya.
“Dengan long march ini, moga-moga mereka sadar bahwa soal tarif bukanlah soal tarif itu sendiri, tetapi hanya salah satu aspek kecil dari perjuangan rakyat,” ujar Gie, dengan semangat yang membara, menggugah kesadaran bahwa perjuangan rakyat lebih luas dan mendalam dari sekadar masalah tarif.
Aksi ini menjadi simbol penting dalam memperjuangkan keadilan yang lebih besar, menyatukan berbagai elemen untuk berjuang demi perubahan yang lebih berarti.
Begitulah kisah Soe Hok Gie dalam GIE dan Surat-Surat yang Tersembunyi.
Meski hidupnya singkat, ia tetap berjuang demi tatanan yang lebih baik. Bara perlawanannya tak pernah padam ia terus menyala dalam benak anak-anak muda setelahnya.
Idealisme yang murni, keberpihakan tanpa pamrih, serta kecintaan pada alam dan sesama manusia adalah warisan pemikiran yang begitu mewah di zaman ini.
Sayangnya, Gie harus berpulang di tempat yang paling dicintainya. Racun dari kawah Semeru merenggut nyawanya, di tengah malam yang hening, dingin, dan sunyi.
terima kasih sudah membaca resensi buku Gie dan Surat-Surat Tersembunyi. semoga pengalaman gie yang diuraikan pada resensi buku kali ini dapat menginspirasi sobat aksara sekalian, sampai jumpa di resensi buku terbaru lainnya.
Posting Komentar